Premiere atau pemutaran perdana film Tears of Gaza yang berkisah tentang pengeboman membabi buta pasukan zionis Israel ke jalur Gaza, Palestina pada akhir tahun 2008 dan awal 2009 lalu, berhasil mengguncang Toronto International Film Festival atau TIFF.
Sebagai sebuah dokumenter, film besutan sutradara asal Norwegia bernama Vibeke Lokkeberg itu, langsung membuat penonton TIFF, yang dibuka secara resmi pada 11 September kemarin, seperti dibangunkan kesadarannya atas apa yang sesungguhnya terjadi di jalur Gaza selama ini.
Meski sejak awal, sang sutradara menegaskan bahwa filmnya merupakan sebuah film anti-perang. Yang sebisa mungkin tidak menempatkan sebuah posisi antagonis kepada dua belah pihak -dalam hal ini Palestina dan Israel- yang sedang bertikai.
Film yang diklaim sebagai pandangan mata dari orang pertama yang menyaksikan peristiwa pengeboman itu, atau first-hand account of Gaza bombings itu, niscaya menimbulkan sebuah pandangan multi tafsir.
Hollywood Reporter, yang melaporkan langsung dari Toronto, Kanada misalnya, mengatakan dengan tanda tanya besar. Apakah mungkin film Tears of Gaza yang intinya berkisah tentang konflik antara Israel versus Palestina bisa diceritakan secara benar-benar obyektif oleh seorang pekerja film, tanpa mendiskriditkan atau menciptakan tokoh antagonis diantara kedua negara berseteru itu?
Panggilan Kewaspadaan
Meski jelas-jelas dalam film itu diceritakan dari gambar riil atau nyata, ihwal peristiwa yang lebih pantas disebut tragedi kemanusiaan. Karena gambar terbunuhnya bocah-bocah tak berdosa Palestina akibat peristiwa pengeboman oleh pesawat pengebom Israel, terlihat jelas dan nyata. Sehingga menimbulkan sebuah pemandangan yang sangat emosional, juga kontraversial.
Atas penggambaran adegan penghancuran itu, sutradara perempuan itu mempunyai jawaban, "Kami hanya ingin membawa realitas perang yang sesungguhnya ke dalam sebuah layar," katanya. Sehingga adegan teriakan bocah-bocah ingusan yang tidak tahu alasan kenapa rumah mereka menjadi korban pengeboman, yang lari tungang langgang, untuk mencari tempat perlindungan. Sebelum akhirnya terdampar di jalanan dan rumah sakit di Gaza, terekam semua di film ini.
Løkkeberg menyadari betul, jika filmnya secara tematik berpunggungan dengan tema besar film-film besutan Hollywood. Yang dimatanya dinilai terlalu mengumbar mimpi, atau dalam bahasanya dikatakan sebagai "virtual dream world", atau dunia virtual yang penuh impian belaka. Yang berkecenderungan hanya melahirkan para penikmat film yang hanya mau dihibur saja, tidak lebih dari itu. Apalagi melibatkan secara aktif dan secara emosional atas sebuah tema yang disuguhkan.
Atas alasan itulah, dia menghadirkan "Tears of Gaza", yang diharapkannya menjadi wake-up call atau panggilan kewaspadaan bagi penonton dan penikmat film. "Karena masyarakat perlu disentuh dengan dunia nyata," katanya lagi. Sebagaimana dilaporkan Reuters, Løkkeberg juga menegaskan bahwa filmnya terlepas dari semua pandangan dan keberpihakan secara politis dari pihak manapun yang sedang bertikai. Karena dia hanya fokus pada efek mengerikan atas peristiwa pengeboman itu, kepada rakyat sipil, dan terutama kepada anak-anak dan kaum hawa. Yang sebagaimana menjadi rahasia umum, selalu menjadi korban pertama atas terjadinya sebuah perang, dimanapun dan kapanpun.
Dengan kata lain, film ini hanya ingin menegaskan, sejauh mana sebuah perang berdampak buruk bagi orang-orang yang tak berdosa (how war affects the innocent). Dan dampak buruk itu dikisahkan lewat kisah tiga bocah Palestina yang terlunta-lunta di pertiwinya sendiri, akibat ulah tentara zionis Israel.(suaramerdeka.com)
Wednesday, September 15, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment